Banyak Bisnis Gagal Bukan Karena Produk, Tapi Karena Salah Perhitungan
Sebuah restoran menyiapkan 300 porsi untuk promo akhir pekan, tapi yang datang hanya 80 pelanggan. Di sisi lain, sebuah toko online kehabisan stok barang viral dan kehilangan ratusan potensi transaksi. Keduanya punya satu masalah yang sama: forecasting yang tidak akurat.
Forecasting bukan sekadar meramal masa depan, tapi kemampuan bisnis membaca pola dan mengambil keputusan berdasarkan data. Sayangnya, banyak pelaku usaha yang masih mengandalkan insting atau kebiasaan lama—tanpa dukungan sistem yang bisa membantu menganalisis data secara terukur.
Apa Itu Forecasting?
Forecasting adalah proses memprediksi kondisi bisnis di masa depan berdasarkan data historis, tren, pola musiman, dan faktor eksternal. Tujuannya? Mengurangi ketidakpastian dalam perencanaan, meningkatkan efisiensi operasional, dan mengoptimalkan penggunaan sumber daya.
Jenis-Jenis Forecasting yang Digunakan Bisnis
1. Sales Forecasting
Memperkirakan jumlah penjualan yang mungkin terjadi di periode mendatang. Ini jadi dasar untuk perencanaan produksi, distribusi, dan pemasaran.
2. Demand Forecasting
Memprediksi permintaan pasar terhadap suatu produk. Cocok untuk manajemen stok dan perencanaan pasokan bahan baku.
3. Financial Forecasting
Fokus pada proyeksi arus kas, pendapatan, pengeluaran, dan kebutuhan modal. Sangat berguna untuk menjaga kesehatan keuangan.
4. Operational Forecasting
Digunakan untuk merencanakan kebutuhan tenaga kerja, kapasitas produksi, atau logistik, agar kegiatan operasional tetap stabil.
5. Supply Forecasting
Memprediksi ketersediaan bahan baku atau komponen penting dalam rantai pasok, terutama jika bergantung pada supplier eksternal.
Strategi Forecasting yang Efektif dan Sederhana
1. Kumpulkan Data Secara Konsisten dan Terstruktur
Data penjualan, stok, dan operasional harus dicatat secara digital dan rapi. Tanpa konsistensi, pola sulit terbaca dan keputusan jadi tidak akurat.
Contoh:
Perusahaan retail dengan 15 cabang sebelumnya mengandalkan laporan manual via WhatsApp. Setelah beralih ke dashboard terintegrasi, mereka langsung menemukan bahwa celana cargo mendominasi penjualan di lima kota besar. Forecast stok pun lebih tepat sasaran.
2. Kenali Pola Penjualan dan Musim Ramai
Permintaan sering kali mengikuti siklus—mingguan, bulanan, atau musiman. Identifikasi pola ini untuk menghindari kelebihan atau kekurangan stok.
Contoh:
Produsen makanan beku melihat lonjakan permintaan nugget dan sosis di minggu pertama dan keempat setiap bulan, terkait gajian dan kebutuhan bekal anak sekolah. Dengan penyesuaian produksi berbasis pola ini, mereka berhasil mengurangi food waste hingga 18%.
3. Gunakan Metode Sederhana yang Praktis
Tidak semua bisnis membutuhkan metode statistik kompleks. Langkah awal bisa dimulai dari:
- Rata-rata 3–6 bulan terakhir, untuk produk dengan volume stabil
- Perbandingan tahun lalu (YOY), cocok untuk produk musiman
Contoh:
Sebuah cafe di area kampus rutin mengalami penurunan penjualan di bulan libur semester. Dengan menyesuaikan forecast dan jam kerja tim, mereka menghemat biaya operasional hingga dua digit persen selama low season.
Byon menyediakan sistem forecasting otomatis yang membaca pola penjualan historis dan memberikan proyeksi akurat secara real-time, memudahkan tim dalam menyusun rencana produksi dan distribusi.
4. Perhitungkan Faktor Eksternal
Tren media sosial, perubahan cuaca, hingga regulasi pemerintah dapat berdampak besar pada permintaan pasar. Faktor-faktor ini perlu dilibatkan dalam forecasting.
Contoh:
Restoran Korea mendadak kewalahan setelah menu mereka viral di media sosial. Karena tidak memantau tren eksternal, bahan utama habis dalam dua hari, dan butuh seminggu untuk restock. Forecasting berbasis tren bisa mencegah kehilangan momentum seperti ini.
5. Libatkan Tim Operasional dalam Proses Prediksi
Forecasting bukan hanya tugas divisi keuangan atau perencanaan. Input dari tim gudang, sales, dan customer service membantu memperkaya data dengan kondisi lapangan.
Contoh:
Startup logistik mengalami bottleneck karena hanya mengacu pada data order digital, tanpa mempertimbangkan kapasitas kurir harian. Setelah tim operasional dilibatkan, jadwal pengiriman dan penambahan armada bisa dirancang lebih realistis.
6. Bandingkan Forecast dengan Realisasi
Setiap prediksi perlu dievaluasi agar akurasi membaik di periode berikutnya. Forecast yang tidak diuji berisiko terus meleset.
Contoh:
Toko online memproyeksikan penjualan 30.000 unit untuk promo 9.9, tetapi realisasi hanya 22.000 unit. Setelah dievaluasi, diketahui momentum tertahan karena bertepatan dengan cuti nasional. Sejak itu, mereka selalu menyiapkan dua skenario forecast: optimistis dan konservatif.
Byon memfasilitasi proses evaluasi ini lewat dashboard visual yang membandingkan forecast dengan realisasi per produk, per channel, dan per wilayah—semua bisa diakses dalam satu platform.
Risiko Jika Forecasting Tidak Dijalankan
Tanpa forecasting yang tepat, bisnis berisiko:
- Overproduksi atau underproduksi
- Kelebihan atau kekurangan tenaga kerja
- Cash flow tidak stabil
- Tidak siap menghadapi lonjakan atau penurunan permintaan
Semua ini bisa dihindari jika ada sistem yang mendukung proses prediksi secara berkelanjutan dan berbasis data.
Byon membantu bisnis menjalankan forecasting dari berbagai sisi—penjualan, operasional, hingga keuangan—dengan pendekatan yang mudah digunakan bahkan oleh tim non-teknis.
Waktunya Menyusun Prediksi yang Bisa Diandalkan
Forecasting bukan soal meramal masa depan, tapi tentang mempersiapkan diri sebaik mungkin dengan data dan strategi yang tepat. Dengan memahami jenis-jenis forecasting dan menerapkan strategi yang sederhana namun efektif, bisnis bisa mengurangi risiko operasional dan meningkatkan efisiensi.
Dan yang paling penting, forecasting yang baik akan memberi ruang bagi bisnis untuk tumbuh dengan lebih terencana—tanpa harus bergantung pada tebakan atau insting semata.